RESULAWESI.COM, JAKARTA — Membahas potensi segregasi pasca Pemilu 2024, Rektor Universitas Islam Makassar (UIM), Prof Muammar Bakry mengingatkan pentingnya konsolidasi sesama anak bangsa, walaupun sebelumnya mungkin berada di pihak yang berbeda.
Prof Muammar menekankan mengenai pentingnya ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dalam menjaga persatuan bangsa. Karena dua hal tersebut adalah jembatan yang dapat mempertemukan segala perbedaan yang ada, termasuk dalam pilihan politik.
"Kebetulan sekali kita saat ini berada di bulan Sya'ban. Bulan Sya'ban itu adalah bulan yang mengantar kita masuk bulan Ramadhan, sehingga sarat dengan makna persaudaraan dan perdamaian. Sya'ban itu juga berakar dari kata ‘Sya’bun,’ yang berarti ‘bangsa.’ Jadi bisa dimaknai bahwa kekuatan suatu negara itu terletak pada persaudaraan serta kebangsaannya,” ujar Prof Muammar Bakry, beberapa waktu lalu.
Prof Muammar yang juga Imam Besar Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar ini menjelaskan pentingnya figur pemimpin dalam suatu negara. Ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa 'Apabila kalian bertiga keluar dari rumah atau dari kampung halaman, angkatlah satu pemimpin dalam perjalanan itu.'Artinya, komunitas yang jumlahnya tiga orang saja dianjurkan memiliki pemimpin oleh Rasulullah.
"Eksistensi seorang pemimpin menjadi jauh lebih penting jika kita dudukkan persoalannya dalam komunitas bangsa yang besar seperti Indonesia. Negara yang memiliki hampir 300 juta jiwa penduduk seperti ini, tentu perlu ada pemimpin yang kuat melalui proses yang demokratis," ujarnya.
Menurutnya, masyarakat Indonesia patut bersyukur dan bersuka cita karena telah melewati proses Pemilu 2024 lalu dengan kondisi yang relatif aman dan stabil. Dan saat ini, masyarakat Indonesia sedang menunggu hasil hitung suara secara resmi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kiai yang juga Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, mengkritik penggunaan politik identitas agama dalam kampanye. Hal ini, menurutnya, dapat mendiskreditkan agama dan mengurangi nilai sakralnya. Dirinya berpendapat bahwa agama memiliki konsep tersendiri dalam menjalankan nilai-nilainya, sementara politik punya jalannya yang tidak harus dibenturkan pada dogma agama.
"Masyarakat perlu diedukasi untuk memahami perbedaan antara nilai agama dan politisasi agama. Dengan begitu, publik semakin tercerahkan dengan edukasi yang baik, sesuai dengan nilai-nilai yang ada pada agama, dan semakin dewasa dalam melihat hubungan agama dengan politik,” kata Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Selatan (Sekjen MUI Sulsel) ini.
Kiai Muammar berpendapat jika agama harus dijadikan nilai dan panutan dalam kehidupan tiap anak bangsa, karena memang itu fungsi dari agama. Agama yang nilai-nilai kebaikannya bisa menyinari segala aspek kehidupan manusia, tentunya tidak pantas jika kemudian dijadikan jargon untuk memenangkan kontestasi politik yang justru akan merendahkan posisi dari firman Tuhan itu sendiri.
Untuk itu pasca pemilu ini, Prof Muammar pun mengajak masyarakat untuk kembali kepada konstitusi dan nilai-nilai agama, terutama dalam menjaga kedamaian serta memperkuat persatuan sesama anak bangsa.
“Itulah ciri-ciri yang ditunjukkan oleh orang dengan keimanan yang baik. Orang yang dikatakan beriman adalah mereka yang selalu menjaga kedamaian lingkungannya," katanya.